Korupsi
Korupsi PT Sritex Yang Rugikan Negara Mencapai Ratusan Miliar

Korupsi PT Sritex Yang Rugikan Negara Mencapai Ratusan Miliar

Korupsi PT Sritex Yang Rugikan Negara Mencapai Ratusan Miliar

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Korupsi
Korupsi PT Sritex Yang Rugikan Negara Mencapai Ratusan Miliar

Korupsi Di Indonesia Semakin Hari Tidak Ada Habisnya Kini Giliran PT Sritex Yang Sedang Terkena Kasus Dugaan Korupsi Terhadap Kredit Macetnya. Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengungkap adanya penyalahgunaan dalam pemberian kredit dari sejumlah bank daerah kepada Sritex yang diduga menimbulkan kerugian negara mencapai Rp692,9 miliar.

Kasus ini bermula dari kredit yang dikucurkan beberapa bank daerah seperti Bank BJB, BPD Jawa Tengah, dan Bank DKI kepada Sritex dalam periode 2017 hingga 2019. Alih-alih digunakan untuk menunjang operasional perusahaan sebagaimana tertulis dalam dokumen pengajuan, dana tersebut diduga dialihkan untuk membayar utang lama dan investasi tak produktif.

“Pemberian kredit dilakukan secara melawan hukum, tanpa analisis risiko yang memadai, dan ada intervensi dari pihak-pihak tertentu,” ungkap Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung dalam konferensi pers, Rabu (21/5).

Kejagung telah menetapkan tiga tersangka utama: Iwan Setiawan Lukminto, Komisaris Utama sekaligus mantan Direktur Utama Sritex; Dicky Syahbandinata, eks pejabat Bank BJB; serta Zainuddin Mappa, mantan Direktur Utama Bank DKI. Ketiganya langsung ditahan untuk proses hukum lanjutan Korupsi.

Pemeriksaan lebih dari 50 saksi telah dilakukan, termasuk pihak perbankan dan internal Sritex. Berdasarkan hasil penyidikan, ditemukan bahwa proses pencairan kredit tidak sesuai prosedur dan rekomendasi internal bank diabaikan. Bahkan, rating kredit Sritex saat itu sebenarnya tidak layak menerima pinjaman dalam jumlah besar. Skandal ini semakin memperburuk kondisi Sritex yang sebelumnya sudah dilanda krisis keuangan. Pada Oktober 2024, perusahaan dinyatakan pailit oleh pengadilan karena gagal membayar utang lebih dari Rp30 triliun. Produksi dihentikan, ribuan karyawan dirumahkan, dan pabrik tekstil legendaris ini resmi gulung tikar pada Maret 2025 Korupsi.

Menyuarakan Kekesalan Atas Fakta Bahwa Sebuah Perusahaan Besar Bisa Mendapatkan Pinjaman Triliunan Rupiah

Kasus korupsi yang menyeret PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) ke meja hukum turut menjadi sorotan hangat di media sosial. Ribuan warganet bereaksi, mulai dari mereka yang prihatin terhadap nasib para karyawan, hingga mereka yang mengkritik sistem keuangan dan pengawasan perbankan nasional.

Di platform X (sebelumnya Twitter), tagar #SritexPailit dan #KorupsiKredit sempat menjadi trending. Banyak pengguna Menyuarakan Kekesalan Atas Fakta Bahwa Sebuah Perusahaan Besar Bisa Mendapatkan Pinjaman Triliunan Rupiah meski kondisi keuangannya dinilai tidak sehat.

“Apa gunanya analisis risiko kalau ujung-ujungnya kredit dikasih karena kedekatan? Rakyat kecil ngajuin pinjaman usaha Rp50 juta aja susahnya setengah mati,” tulis akun @fikririzky.

Tak sedikit pula yang menyoroti nasib ribuan karyawan Sritex yang menjadi korban dari skandal ini. Puluhan ribu pekerja harus kehilangan pekerjaan saat perusahaan menyatakan pailit, dan sebagian masih memperjuangkan pesangon yang belum dibayar penuh.

“Yang jadi korban lagi-lagi buruh. Bos-nya korupsi, tapi yang merasakan sakitnya justru para pekerja,” komentar akun @rindalia__ dalam utas yang viral di Facebook.

Sementara itu, di kolom komentar berita daring seperti Kompas, Detik, dan CNN Indonesia, banyak pembaca mempertanyakan pengawasan OJK dan Bank Indonesia terhadap praktik pemberian kredit oleh bank daerah. Warganet merasa bahwa lembaga pengawas tidak cukup sigap dalam mendeteksi potensi penyimpangan sejak dini.

Ada juga sindiran pedas yang dilontarkan warganet tentang gaya hidup elite perusahaan yang kontras dengan kondisi keuangan sebenarnya. “Sritex gaya-gayaan sponsor tim luar negeri, eh dalamnya ternyata bolong semua,” tulis @taufikwrites. Namun di tengah kecaman, ada juga suara-suara yang menyerukan agar masyarakat tidak langsung menghakimi seluruh manajemen Sritex.

Kejagung Menilai Bahwa Skandal Korupsi Ini Merupakan Bentuk Kolusi Antara Oknum Perbankan Dan Korporasi

Dalam pernyataan resminya, Kejagung Menilai Bahwa Skandal Korupsi Ini Merupakan Bentuk Kolusi Antara Oknum Perbankan Dan Korporasi yang merugikan keuangan negara dalam skala besar. “Ini adalah bentuk nyata dari kejahatan keuangan yang terstruktur. Kredit diberikan secara melawan hukum, tanpa memperhatikan prinsip kehati-hatian dan analisa risiko yang seharusnya menjadi syarat utama dalam pemberian fasilitas pembiayaan,” tegas Direktur Penyidikan Jampidsus, Kuntadi, dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Rabu (21/5).

Menurut Kejagung, pemberian kredit senilai Rp 3,58 triliun dari sejumlah bank daerah kepada Sritex dilakukan dengan cara-cara yang tidak sah dan sarat rekayasa. Di antaranya termasuk manipulasi laporan keuangan, pemalsuan data cash flow, dan tekanan dari pihak internal perusahaan terhadap pejabat bank.

Kejagung juga menyoroti bahwa pihak Sritex tidak menggunakan dana tersebut sesuai tujuan awal, yaitu untuk modal kerja. Sebaliknya, dana dialihkan untuk membayar utang yang jatuh tempo dan melakukan pembelian aset non-produktif, yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp 692,9 miliar.

“Kami menegaskan bahwa proses penyidikan tidak akan berhenti pada tiga tersangka saja. Kami masih mendalami keterlibatan pihak-pihak lain, termasuk kemungkinan keterlibatan oknum regulator atau pejabat internal bank lainnya,” lanjut Kuntadi.

Kejagung juga menekankan bahwa kasus ini menjadi prioritas nasional karena menyangkut stabilitas sektor keuangan dan perlindungan terhadap dana publik. Oleh sebab itu, Kejagung memastikan akan bekerja sama dengan lembaga pengawas seperti OJK, PPATK, dan BPK untuk memperkuat alat bukti. Sebagai bentuk komitmen transparansi, Kejagung juga membuka ruang bagi masyarakat untuk melaporkan jika memiliki informasi tambahan terkait kasus ini. Penegakan hukum, menurut Jampidsus, tidak akan tebang pilih dan akan menindak siapa pun yang terlibat.

Mengatur Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Dengan Penyalahgunaan Wewenang Dan Menyebabkan Kerugian Negara

Sejumlah ahli hukum menyatakan bahwa kasus dugaan korupsi kredit PT Sritex merupakan bentuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena melibatkan kolusi antara korporasi dan lembaga perbankan, serta berdampak besar terhadap keuangan negara dan masyarakat.

Prof. Dr. Eddy Hiariej, pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada. Menyebut bahwa pelanggaran dalam kasus ini bisa dikenakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001), yang Mengatur Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Dengan Penyalahgunaan Wewenang Dan Menyebabkan Kerugian Negara.

“Jika terbukti bersalah, pelaku bisa diancam pidana minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara, serta denda hingga Rp1 miliar. Namun karena ini menyangkut kerugian ratusan miliar rupiah, majelis hakim seharusnya menjatuhkan hukuman maksimal. Ditambah pidana tambahan berupa uang pengganti,” ujarnya dalam sebuah diskusi akademik di Jakarta.

Ahli lain, Dr. Erwin Natosmal Oemar, menilai bahwa hukuman tidak boleh hanya bersifat simbolik. Menurutnya, pemberian kredit secara melawan hukum menunjukkan adanya persekongkolan sistematis. Yang tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab moral dan hukum para pelaku.

“Ini bukan lagi soal kesalahan administratif, tapi soal niat jahat yang terstruktur. Maka, selain pidana badan, perlu dilakukan penyitaan aset para pelaku. Dan pencabutan hak politik atau jabatan publik bagi mereka yang terbukti bersalah,” tegas Erwin.

Para ahli hukum juga sepakat bahwa penyelesaian kasus seperti ini tidak cukup hanya dengan menghukum individu. Harus ada langkah lanjutan berupa reformasi sistem kredit perbankan, termasuk pengawasan internal dan audit terhadap pemberian pinjaman besar Korupsi.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait