Ketegangan Geopolitik Picu Ketidakstabilan Harga Minyak
Ketegangan Geopolitik Picu Ketidakstabilan Harga Minyak

Ketegangan Geopolitik Picu Ketidakstabilan Harga Minyak

Ketegangan Geopolitik Picu Ketidakstabilan Harga Minyak

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Ketegangan Geopolitik Picu Ketidakstabilan Harga Minyak
Ketegangan Geopolitik Picu Ketidakstabilan Harga Minyak

Ketegangan Geopolitik Menjadi Pemicu Utama Dari Lonjakan Harga Minyak Dunia Yang Terjadi Pada 11 April 2025. Ini terjadi ketika pernyataan dari Menteri Energi Amerika Serikat yang mengguncang pasar global. Dalam pernyataannya, ia mengindikasikan kemungkinan penghentian ekspor minyak dari Iran sebagai bagian dari strategi untuk menekan negara tersebut. Ini di lakukan agar menghentikan pengembangan program nuklirnya. Di mana pernyataan tersebut segera menciptakan ketidakpastian di pasar energi. Sehingga, ini memicu respons cepat dari para pelaku pasar. Tercatat, harga minyak jenis Brent dan West Texas Intermediate melonjak signifikan. Di mana masing-masing naik lebih dari satu dolar Amerika Serikat. Kenaikan ini tidak hanya mencerminkan kekhawatiran terhadap potensi gangguan pasokan global. Namun, juga menunjukkan bagaimana Ketegangan Geopolitik dapat berdampak langsung terhadap fluktuasi harga energi secara global. Situasi ini mempertegas bahwa konflik antarnegara memiliki kemampuan besar dalam menciptakan instabilitas pasar.

Lebih lanjut, dalam konteks yang lebih luas, respons pasar terhadap perkembangan ini menjadi bukti bahwa kondisi politik internasional kini memainkan peran sentral dalam menentukan arah harga minyak dunia. Kenaikan ini mencerminkan kepekaan pasar terhadap dinamika internasional. Ini khususnya ketika Ketegangan Geopolitik meningkat akibat manuver diplomatik dan kebijakan luar negeri negara-negara besar. Faktor lain yang turut memperkeruh suasana adalah ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China yang tidak kunjung mereda.

Andrew Lipow selaku Presiden Lipow Oil Associates mengungkapkan bahwa pembatasan terhadap ekspor minyak Iran dapat mengurangi pasokan global secara signifikan. Kemudian, ia juga menyatakan bahwa China kemungkinan besar akan tetap membeli minyak dari Iran. Hal ini tetap mereka lakukan meskipun ada tekanan internasional. Ketegangan Geopolitik antara Amerika Serikat dan negara-negara lain pun ikut berkontribusi terhadap ketidakstabilan pasar energi. Hal ini mengingat, kebijakan Trump yang kerap berubah-ubah dalam menerapkan tarif impor menambah lapisan kompleksitas pada situasi global. Sehingga, pelaku pasar pun semakin sulit memprediksi arah kebijakan ekonomi dan diplomatik Washington.

Ketegangan Geopolitik Memiliki Efek Langsung Terhadap Kestabilan Harga Minyak

Ketegangan Geopolitik juga makin terlihat ketika John Kilduff dari Again Capital menyatakan bahwa Amerika Serikat kini menjadi salah satu sumber utama risiko politik global. Di mana, ia membandingkan situasi saat ini dengan krisis yang terjadi ketika Rusia menginvasi Ukraina beberapa tahun lalu. Penilaian ini memperkuat persepsi bahwa pasar energi global sangat rentan terhadap gejolak yang di picu oleh konflik antarnegara. Sementara itu, China mengumumkan rencana untuk memberlakukan tarif sebesar 125 persen terhadap barang-barang asal Amerika Serikat. Upaya China ini sebagai balasan atas kenaikan tarif AS terhadap produk China hingga 145 persen.

Kemudian, pada pekan yang sama, Presiden Trump memang sempat menangguhkan penerapan tarif tinggi bagi sejumlah mitra dagang lainnya. Namun, konflik dagang berkepanjangan dengan China tetap menjadi sumber utama ketidakpastian ekonomi global. Tercatat, bahkan sektor transportasi udara internasional pun tidak luput dari dampaknya. Hal ini pada akhirnya juga berimbas pada proyeksi permintaan energi, khususnya minyak.

Ole Hansen selaku Kepala Strategi Komoditas di Saxo Bank menyebutkan bahwa sekalipun sebagian kebijakan tarif di tunda selama 90 hari, maka pasar telah lebih dahulu merespons secara negatif. Kemudian, ia menekankan bahwa Ketegangan Geopolitik Memiliki Efek Langsung Terhadap Kestabilan Harga Minyak. Dengan sentimen proteksionisme yang semakin menguat, menjadikan pasar semakin fluktuatif. Sehingga, ketidakpastian ini mencerminkan betapa pasar energi global sangat tergantung pada kebijakan makroekonomi. Serta, juga dari langkah-langkah diplomatik negara-negara utama. Lebih lanjut, dampak Ketegangan Geopolitik juga terlihat dalam laporan Badan Informasi Energi AS. Di mana, mereka menyebutkan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2025 dan 2026 telah di revisi menurun. Ketidakpastian ekonomi global ini memperlihatkan bahwa Ketegangan Geopolitik tidak hanya berdampak sesaat. Kemudian, menurut Survei Reuters, hal ini turut memperkuat kekhawatiran ini. Di mana, pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada 2025 di perkirakan akan melambat akibat tekanan dari tarif tinggi AS.

Negara Berkembang Yang Sangat Bergantung Pada Perdagangan Global

Sebagai negara importir minyak terbesar di dunia, perlambatan ekonomi Tiongkok berarti potensi penurunan signifikan dalam permintaan energi global. Di mana, Direktur dari Badan Perdagangan PBB bahkan menyebut bahwa kebijakan tarif yang ekstrem dapat menjadi bencana. Khususnya, bagi Negara Berkembang Yang Sangat Bergantung Pada Perdagangan Global. Sementara itu, volatilitas harga minyak pun terus berlanjut. Tercatat pada 10 April 2025, harga minyak mentah sempat turun drastis lebih dari 3 persen. Hal ini terjadi akibat kekhawatiran terhadap kebijakan tarif Trump terhadap China. Namun sehari sebelumnya, terjadi pemulihan harga setelah Presiden AS mengumumkan pelonggaran tarif sementara. Ini terjadi terhadap mayoritas negara mitra dagang. Fenomena ini menggambarkan betapa Ketegangan Geopolitik menciptakan ketidakstabilan luar biasa dalam pasar minyak. Di mana, kondisi ini merespons setiap perubahan kebijakan dengan sangat cepat.

Selanjutnya, meskipun harga sempat membaik, keputusan Trump untuk menaikkan tarif terhadap China hingga 145 persen kembali memberikan tekanan berat pada pasar. Ia juga mempertanyakan efektivitas negosiasi multilateral yang di lakukan secara bersamaan oleh AS. Hal ini cenderung kontraproduktif dalam menciptakan kejelasan arah pasar global. Puncak kenaikan harga minyak terjadi pada 9 April 2025, saat minyak mentah AS melonjak lebih dari 4 persen dalam sehari. Ini merupakan kenaikan harian tertinggi sejak Oktober 2024 dan mencerminkan respons pasar terhadap pelonggaran tarif oleh Presiden Trump. Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama karena pasar kembali di hantui oleh ancaman kebijakan tarif balasan dari China.

Ketegangan Geopolitik yang terus berlangsung membuat pasar sulit mempertahankan kestabilan harga. Terlebih, hal ini dengan absennya kepastian jangka panjang dari negara-negara pengambil kebijakan utama. Di mana, konflik dagang antara AS dan China juga memperbesar kekhawatiran terhadap resesi global. Ketegangan Geopolitik yang menyertainya menyebabkan turunnya ekspektasi permintaan energi dunia. Di sisi lain, kesepakatan OPEC+ untuk mempercepat peningkatan produksi minyak mulai Mei memperparah risiko ketidakseimbangan pasar. Sehingga, situasi ini menciptakan ancaman surplus pasokan yang terjadi di tengah menurunnya permintaan.

Sorotan Dunia Internasional Tertuju Pada Sebuah Agenda Pertemuan

Helima Croft dari RBC Capital Markets menyebutkan bahwa kombinasi antara peningkatan suplai dan Ketegangan Geopolitik merupakan kondisi berisiko tinggi yang dapat mengguncang pasar energi secara masif. Yang mana, pada saat yang bersamaan, Sorotan Dunia Internasional Tertuju Pada Sebuah Agenda Pertemuan. Pertemuan ini terjadi antara Amerika Serikat dan Iran yang di rencanakan berlangsung di Oman. Di mana, pertemuan ini bertujuan untuk membahas kelanjutan program nuklir Iran. Hal ini tentu memiliki dampak langsung terhadap kemungkinan di mulainya kembali ekspor minyak dari negara tersebut. Jika pembicaraan diplomatik ini berujung pada kesepakatan. Maka, pasar minyak global berpotensi mengalami penyesuaian harga yang cukup signifikan.

Meskipun demikian, selama situasi politik internasional masih di liputi oleh ketidakpastian dan ketegangan belum mereda. Maka dari itu, volatilitas harga minyak di perkirakan akan tetap tinggi. Secara umum, perkembangan harga minyak pada pekan kedua April 2025 mencerminkan bahwa faktor politik telah menjadi penentu utama dalam dinamika pasar energi. Hal ini mulai dari kebijakan tarif hingga ketegangan diplomatik, semuanya menyusun sebuah lanskap global yang kompleks dan sulit di prediksi. Sehingga, risiko terhadap stabilitas ekonomi jangka panjang pun semakin besar apabila eskalasi konflik terus berlanjut. Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan harus memahami bahwa arah pasar energi saat ini sangat bergantung pada fluktuasi Ketegangan Geopolitik.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait